Sabtu, 15 September 2007

TAFSIR AYAT PUASA DAN FAIDAH HUKUMNYA

TAFSIR AYAT PUASA DAN FAIDAH HUKUMNYA

Syaikh Salim bin Ied al-Hilali


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةُ طَعَامٌ مِسْكِيْنٌ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تـَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ َتــعْلَمُوْنَ شَهْرُ مَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كاَنَ مَرِيْضًا أَوْ علَىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَياَّمٍ أُخَرَ يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتــكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ علَىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu, barang siapa diantara kalian hadir (dinegeri tempat tinggalnya) dibulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al Baqarah : 183 – 185)


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa yaitu menahan diri dari makan, minum dan jima’, dengan niat ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena di dalam puasa terkandung penyucian dan pembersihan jiwa dari perbuatan yang hina dan akhlak yang rendah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan (dalam ayat di atas), (bahwa) sebagaimana Dia mewajibkan atas kalian (orang-orang yang beriman) puasa, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala (juga) mewajibkannya atas umat-umat yang terdahulu, sebelum kalian. Maka bagi mereka terdapat contoh yang baik, dan hendaklah kalian bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban ini, lebih sempurna dari orang-orang yang terdahulu, agar kalian benar-benar taqwa kepada Allah dan takut kepada-Nya.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan ketentuan puasa. Bahwasanya puasa itu tidaklah setiap hari, (yang demikian itu) agar tidak memberatkan jiwa, sehingga menjadi lemahlah (jiwa) dari memikul dan menunaikannya. Tetapi puasa itu (dikerjakan) pada hari-hari tertentu. Yang mana pada permulaan Islam, orang-orang beriman berpuasa tiga hari setiap bulannya, kemudian hal ini dihapus dengan puasa pada bulan Ramadhan.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan hukum puasa sebagaimana terjadi pada awal permulaan Islam. Dia menerangkan bahwa orang yang sakit dan musafir (orang yang bepergian) tidak (wajib) berpuasa dalam keadaan sakit atau bepergian, dikarenakan kesulitan pada dua keadaan itu (untuk berpuasa), bahkan keduanya boleh berbuka dan (harus) menggantinya pada waktu yang lain.

Adapun orang yang sehat dan mukim, yang mana ia mampu berpuasa, maka ia dibolehkan memilih antara puasa (atau) memberi makan (fakir-miskin). Jika ia berkehendak puasa maka ia puasa, dan boleh berkehendak tidak puasa dengan memberi makan setiap hari seorang miskin, jika ia memberi makan lebih dari seorang miskin setiap harinya, maka hal itu baik (baginya), adapun jika ia berpuasa maka hal itu lebih utama daripada memberi makan.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji bulan puasa dari bulan-bulan (yang lain), dengan diturunkannya Al Qur’an yang mulia sekaligus di Baitul Izzah dari langit dunia. Yang demikian itu dalam bulan Ramadhan pada malam lailatul qadar (malam yang ditentukan), sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدَرِ

Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’an pada lailatul qadar” (Al Qadr : 1)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

Artinya : “Sesungguhnya kami menurunkan Al Qur’an pada malam yang diberkati” (Ad Dukhaan : 2)

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan (secara) berangsur-angsur sesuai dengan kejadian-kejadian (yang terjadi) atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Al Qur’an yang telah diturunkannya pada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sebagai petunjuk bagi hati para hamba yang beriman kepada Al Qur’an, membenarkan serta mengikutinya. Dalil-dalil Al Qur’an dan hujjahnya jelas, terang bagi yang memahami dan memperhatikannya, yang menunjukkan atas kebenaran, menolak kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan kesesatan, pemisah antara kebenaran dan kebatilan, serta yang halal dan yang haram.

Kemudian dihapuslah (hukum yang membolehkan) memilih bagi orang yang mukim dan sehat. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan dengan kewajiban pengharusan (untuk berpuasa) atas orang yang menyaksikan hilal Ramadhan sedang ia mukim di negeri ketika datang bulan Ramadhan, dan ia sehat jasmani untuk berpuasa. Tatkala diwajibkannya puasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulangi penyebutan keringanan bagi orang yang sakit dan musafir (untuk) berbuka dengan syarat mengganti (pada hari lain). Maka barangsiapa ditimpa sakit yang memberatkannya untuk puasa atau (bahkan) bertambah berat sakitnya, ataupun ia dalam (keadaan) bepergian maka (dibolehkan) ia berbuka, apabila ia berbuka maka (wajib baginya mengganti) hari-hari berbukanya (pada hari yang lain). Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Al Baqarah : 185)”.

Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meringankan bagi kalian untuk berbuka dalam keadaan sakit dan ketika bepergian, bersamaan dengan itu Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mewajibkan puasa bagi orang yang mukim dan sehat, (hal ini adalah) untuk kemudahan, dan sebagai rahmat bagi kalian.

Ibnu Katsir berkata sesudah menafsirkan ayat tersebut (Al Baqarah : 185) : “Disini terdapat beberapa masalah yang berhubungan dengan ayat ini” :

Sebagian kelompok dari ulama salaf berpendapat bahwa : Barang siapa yang mukim pada awal bulan, kemudian bepergian dipertengahannya, maka tidak diperbolehkan berbuka dengan alasan bepergian dan keadaan seperti ini. Karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Barang siapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) dibulan itu, maka hendaklah ia berpuasa. (Al Baqarah : 185)”.

Dan hanyalah diperbolehkan berbuka bagi musafir, (jika) nampak hilal bulan Ramadhan, sedangkan ia pada waktu itu sedang bepergian.

Ini merupakan pendapat yang asing, Abu Muhammad bin Hazm menukilkan dalam kitabnya “Al-Muhalla” dari sekelompok sahabat dan tabi’in. Riwayat dari mereka tersebut terdapat koreksi. Wallahu a’lam, Karena didapati pada sunnah bahwa Rasulullah keluar pada bulan Ramadhan untuk perang Fathul Makkah. Beliau berjalan, hingga sampai pada suatu tempat, beliau berbuka, dan memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berbuka (diriwayatkan Bukhari dan Muslim).

Sebagian sahabat dari tabi’in berpendapat tentang wajibnya berbuka ketika berpergian, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu”.

Yang benar adalah perkataan jumhur ulama : Bahwa masalah ini adalah boleh puasa atau berbuka dan bukan wajib. Karena dahulu sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar bersama Rasulullah dalam bulan Ramadhan, seorang sahabat berkata : (diantara kita ada yang berpuasa dan ada juga yang berbuka, tidaklah seorang yang berpuasa mencela yang berbuka, dan tidaklah orang yang berbuka mencela yang berpuasa). Seandainya berbuka itu wajib, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengingkari yang berbuka namun yang terdapat dari perbuatan Rasulullah, bahwa beliau pada semisal keadaan ini berpuasa, seperti yang terdapat pada shohih Bukhari dan Muslim dari Abu Darda ia berkata : ‘Kami bepergian bersama Rasulullah pada bulan ramadhan dalam suasana yang sangat panas, sehingga diantara kita ada yang meletakkan tangannya diatas kepalanya, lantaran sangat panas. Dan tidaklah ada yang berpuasa diantara kita kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Abdullah bin Rawahah.

Berkata sekelompok ulama, diantaranya Imam Syafi’i : Berpuasa ketika bepergian adalah lebih utama dari berbuka, berdasarkan perbuatan Rasulullah sebagaimana Hadits diatas. Sekelompok yang lain berkata : Bahkan berbuka adalah lebih utama karena mengambil keringanan. Sekelompok yang lainnya berkata keduanya sama, sebagaimana Hadits ‘Aisyah bahwa Hamzah bin Amru al-Aslami berkata : Wahai Rasulullah, saya banyak berpuasa, apakah boleh saya berpuasa ketika bepergian?. Beliau bersabda : Jika engkau berkehendak maka puasalah, dan jika engkau berkehendak untuk berbuka, maka berbukalah (Hadits ini terdapat dalam shahihain). Dan dikatakan : Jika berpuasa berat baginya (musafir) maka berbuka lebih utama, karena Hadits Jabir bahwa Rasulullah melihat seorang lelaki dikerumuni maka beliau bersabda : Apa ini ?. Mereka berkata : Seorang yang berpuasa. Lalu beliau bersabda : Bukanlah termasuk kebajikan berpuasa ketika safar (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Adapun jika ia menolak sunnah (berpuasa tatkala safar) dan berpendapat makruhnya berbuka maka orang seperti ini wajib berbuka dan diharamkan baginya berpuasa, demikian pula sebaliknya. Saya (Syaikh Salim al Hilali) berkata : Hadits-Hadits tersebut memberi faidah pilihan, bukanlah keutamaan, akan tetapi keutamaan berbuka dari berpuasa (ketika safar) didasarkan kepada Hadits-Hadits yang umum, seperti sabda Nabi yang dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dengan sanad shahih : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyukai keringanan-Nya diamalkan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala membenci kemaksiatan-Nya didatangi.

Namun hal tersebut dibatasi bagi orang yang tidak ada kesulitan atasnya untuk mengqadha dan menunaikannya, agar keringanan (berbuka dalam safar) tidak menyimpang dari tujuan yang dimaksud. Sungguh hal itu telah dijelaskan dengan tidak ada kesamaran padanya (sebagaimana telah diriwayatkan). Dari Abu Said al Khudri dalam sunan Tirmidzi dengan sanad shahih bahwa para sahabat berpendapat orang yang mempunyai kekuatan kemudian berpuasa (dalam safar) maka (hal itu) baik, dan barang siapa lemah kemudian berbuka (dalam safar) (hal itu) baik.


Ketahuilah wahai saudaraku seiman -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kepadamu petunjuk dan ketaqwaan dan memberimu pemahaman dalam agama-, bahwa puasa ketika bepergian apabila hal itu terasa berat bagi seorang hamba maka bukanlah suatu kebaikan sama sekali, bahkan berbuka itu lebih utama dan lebih disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang membenarkan (perkataan ini) Hadits yang diriwayatkan lebih dari seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda : “Bukanlah termasuk kebaikan berpuasa ketika bepergian!”.

Qadha (mengganti puasa di hari lain) apakah wajib dilaksanakan berturut-turut atau boleh terpisah? Pada masalah ini ada dua perdapat :

Yang pertama : wajib berturut-turut, karena qadha (mengganti) menyamai yang diganti.

Yang kedua : Tidak wajib berturut-turut, tetapi jika ia berkehendak, (dapat) dilakukan berturut-turut. Ini perkataan jumhur salaf dan khalaf, dan perkataan ini dalil-dalilnya kokoh. Yang mana berturut-turut hanyalah wajib dalam satu bulan, karena harusnya menunaikan pada bulan Ramadhan. Adapun sesudah berlalunya Ramadhan, maka yang dimaksud adalah puasa hari-hari tertentu (untuk mengganti) hari berbuka, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

”Maka wajiblah ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan” Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (al Baqarah : 185)”


Saya (Syekh Salim al Hilali) berkata: Apa yang dipilih oleh Al-’Allaamah An-Nahrir Ibnu Katsir itulah yang benar, lihatlah perinciannya dengan dalil-dalilnya dalam kitab kami “Sifat Puasa Nabi di Ramadhan”.


Faedah :

Sebagian manusia mengira bahwa berbuka pada hari-hari ketika bepergian tidak diperbolehkan, sehingga mereka mencela orang yang mengambil rukhsah (keringanan untuk berbuka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut) atau menganggap puasa lebih utama karena mudahnya transportasi dan terpenuhi sarana-sarananya. Kami ingatkan bagi mereka akan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Mengetahui baik yang ghaib ataupun terang (jelas).

وَمَا كاَنَ رَبُّكَ نَسِيَّا

“Dan tidaklah Tuhan mu lupa. (Maryam : 64)”. Dan firman-Nya :

وَاللهُ يَعْلَمُ وَ أَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ

“Dan Allah mengetahi sedang kamu tidak mengetahui. (Al Baqarah : 232)”.

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dipertengahan ayat yang menyebutkan keringanan berbuka dalam bepergian. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (al Baqarah : 185).

Artinya : Sesungguhnya kemudahan dan keringanan bagi musafir satu perkara yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan hal itu termasuk dari tujuan syariat yang memberikan kelapangan, terlebih lagi yang membuat syariat agama adalah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta’ala Dzat yang lebih tahu kebutuhan manusia dan yang terbaik bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ

“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan laksanakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (al Mulk : 14)”.

Kita menulis hal ini agar setiap orang muslim tahu bahwa apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya mewajibkan suatu perkara, tidak ada pilihan bagi mereka dari perintah-Nya, namun seorang muslim akan melaksanakan bersama hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman dan berendah diri, yang mana mereka tidak mendahulukan selain perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (kami dengar dan taat, ampunilah kami ya Allah Subhanahu wa Ta’ala , kepada-Mu-lah kami kembali).

 

Tidak ada komentar: