Jumat, 14 September 2007

Keutamaan Ramadhan dan Ibadah Sosial

Keutamaan Ramadhan dan Ibadah Sosial
Sabtu, 15 September 2006 10:15 WIB

Oleh: KH A Hasyim Muzadi

Pada akhir Sya’ban Rasulullah Saw bersabda:
Wahai manusia sungguh telah dekat kepada mu bulan yang agung lagi penuh berkah, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan. Bulan yang di dalamnya Allah telah menjadikan puasa sebagai fardlu, dan bangun malam sebagai sunnat. Barang siapa yang mendekatkan diri di dalamnya dengan beramal sunnat, maka (pahalanya) seperti orang yang beramal fardlu pada bulan lainnya. Barang siapa yang beramal fardlu di dalamnya, maka pahalanya seperti orang yang melakukan tujuh puluh amalan fardlu pada bulan lainnya. Inilah bulan kesabaran, dan pahala sabar ialah surga. Inilah bulan kasih sayang, bulan saat rezeki seorang mukmin ditambah. Barang siapa memberikan buka pada bulan itu kepada orang yang puasa maka itu menjadi ampunan bagi dosa-dosanya, dan memperoleh pahala yang sama tanpa sedikitpun mengurangi pahala orang itu.’’ (Ibnu Huzaimah, Al Baihaqi, Ibnu Hibban)

Ulama Besar dari India dan ahli Hadits, Maulana Muhammad Zakariyah Al Kandhalawi, dalam Kitab-nyaFadhail Amalmenegaskan bahwa hadits ini tak diragukan lagi kemutawatirannya. Karena hadits itu mengurai begitu gamblang akan keutamaan ibadah dalam shaum Ramadhan, mulai dari ibadah wajib (mahdlah) sampai ibadah sosial. Begitu utamanya puasa Ramadhan, sehingga Rasulullah Muhammad telah mengingatkan para sahabat dan kaum muslimin ketika itu, melalui khotbahnya pada akhir bulan Sya’ban.

Hal yang penting untuk kita jadikan pedoman dalam kita melakukan ibadah puasa tahun ini adalah bagaimana memanfaatkan semaksimal mungkin kedatangan Ramadhan kali ini. Jangan sampai karena Ramadhan, amalan ibadah kita yang sudah dilakukan selama ini menjadi terganggu karena kedatangan Ramadhan, baik ibadah wajib maupun ibadah sunnat. Seperti misalnya karena kita disibukkan dengan melakukan buka puasa, maka kita lalai untuk melakukan shalat magrib berjamaah. Karena kita mengedepakan untuk melakukan sahur untuk puasa besoknya, setelah sahur dilanjutkan tidur lagi sehingga melalaikan kewajiban untuk melakukan sholat subuh.

Justru hadist di atas menganjurkan kepada kita bahwa jangan sampai menyia-nyiakan waktu kita selama sebulan dalam Ramadhan untuk lebih produktif lagi melakukan amalan ibadah. Jangan sampai karena alasan sedang berpuasa Ramadhan, maka kita melalaikan pekerjaan kita untuk mengajar bagi guru, atau tidak masuk kantor karena takut tidak kuat menjalankan puasa.

Mahmud Syaltut di dalam Kitabnya ‘al Islam Aqidah wa Syari’ahmenegaskan bahwa ajaran Islam itu pada dasarnya dibagi dalam dua kelompok pokok, yaitu aqidah dan syariah. Aqidah yang menyangkut aspek kepercayaan manusia terhadap Tuhan-nya, dalam hal ini banyak dituntut untuk menggunakan kemampuan berfikir (quwwah nadzariyyah). Sedang syari’ah yang merupakan manifestasi dari aqidah adalah menyangkut aspek perilaku manusia, menuntut untuk banyak melibatkan kemampuan fisik (quwwah amaliyyah).

Karena manusia beriman dan percaya kepada Allah Swt, maka ia harus melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Pekerjaan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah pada umumnya dikualifikasikan sebagai ibadah, yaitu upaya seseorang untuk mendekatkan diri dengan Allah. Ibadah menurut para ahli fiqih, diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu pertama ibadah yang bersifat individual, atau disebut syari’ah mahdhah atau qashirah, yaitu ibadah yang manfaatnya kembali kepada dirinya sendiri. Kedua, ibadah yang bersifat sosial, yaitu ibadah yang manfaatnya menitik beratkan kepada kepentingan umum.

Bagaimana Islam meyikapi dua dimensi ibadah, yaitu individual dan sosial ini? Di dalam kaidah ushul fiqih disebutkan: “Ibadah yang bermanfaat kepada orang lain lebih utama dari pada ibadah yang manfaatnya hanya kepada diri sendiri”. Di sini juga harus jeli kita memahami konteks kaidah ini, jangan sampai disalah-artikan dengan suatu pengertian lebih baik kita beribadah yang muta’addiyah (sosial) saja, dan meninggalkan atau melalaikan ibadah qashirah (individual). Namun jika dalam kenyataan kita menghadapi sesuatu yang dilematis (ta’arudl) antara ibadah yang qashirah dan ibadah yang muta’addiyah, maka diutamakan untuk memilih yang muta’addiyah, ini dengan catatan sepanjang yang qashiroh tidak berupa fardluain.

Dalam kenyataan sehari-hari sering kita melihat orang yang mengkavling-kavling pekerjaan; ada pekerjaan duniawi ada yang ukhrowi, padahal kalau dimensinya ditarik terhadap definisi ibadah yang diutarakan tadi, maka sebenarnya semua pekerjaan itu termasuk ibadah sepanjang hal itu diniatkan untuk ibadah yaitu dalam rangka mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan Allah dan pekerjaan itu semata-mata untuk mendekatkan diri pada Allah swt. Islam tetap menganjurkan agar melakukan keseimbangan antara ibadah yang bersifat individual dengan yang bersifat sosial, meski penekanannya lebih kepada yang sosial. Seperti anjuran untuk memberi makan atau berbuka bagi kaum miskin, menyantuni fakir miskin dan yatim piatu. Dalam bulan puasa Ramadhan, seperti diungkapkan hadits tadi pekerjaan sunnat imbalan pahalanya disamakan dengan ibadah wajib.

Bulan Ramadhan dianggap juga sebagai bulan untuk melatih kesabaran, karena itu walaupun mengalami kesulitan yang berat ketika sedang berpuasa hendaknya kesulitan itu dihadapi dengan senang hati dan sabar, jangan berkeluh kesah. Demikian juga, jika kita tertinggal sahur, jangan mengeluh. Jika kita merasa letih ketika mngerjakan tarawih, bersabarlah, jangan mengeluh agar pahala amalannya tidak lenyap.

Ramadhan juga dinyatakan sebagai bulan kasih sayang, terutama terhadap fakir miskin dan bagi mereka yang tidak mampu. Contoh kongkrit dalam bersifat kasih sayang ini adalah apa yang ditunjukkan oleh para sahabat Nabi Muhammad Saw. Abu Jahm menceritakan kejadian ini ketika terjadi perang Yarmuk. Ketika itu, Abu Jahm pergi menghampiri para korban perang dari kalangan umat Islam dengan membawa kantong kulit berisi air. Ia sebenarnya mencari sepupunya yang cedera karena perang tersebut, setelah sampai di lokasi Abu Jahm memang bertemu dengan sepupunya tersebut, dan menanyakan kepadanya apa dia butuh air, karena kondisi lukanya parah ia hanya memberi isyarat anggukan bahwa ia memerlukan air. Namun, belum sampai air itu ditegukkan ke tenggorakannya terdengar di sebelahnya sahabat kedua merintih membutuhkan air, sepupu Abu Jahm memberi isyarat agar memberikan air terlebih dahulu ke sahabat ke dua tadi. Abu Jahm menghampiri sahabat kedua, begitu mendekat ke sahabat kedua, di sebelahnya ada sahabat ketiga mengerang dan meminta air, sahabat kedua tadi memberi isyarat agar air tersebut terlebih dahulu ditegukkan ke sahabat ketiga. Abu Jahm bergegas menuju ke arah sahabat ketiga, namun belum sempat air ditegukkan ke sahabat ketiga ternyata sudah meninggal. Abu Jahm segera berbalik arah ke sahabat kedua, yang ternyata sudah meninggal juga, dan begitu juga setelah menghampiri sepupunya ternyata sudah meninggal juga.

Kisah sahabat ini nampaknya harus menjadi teladan kita semua, walau dalam kondisi sekarat sekalipun mengasihi sesama terutama kaum fakir miskin dan dhuafa tetap menjadi spirit utama. Kondisi seperti itu sekarang ini memang kurang popular, seperti yang ditunjukkan dalam tayangan layar televisi, orang meminta pertolongan terhadap sesama sulit untuk mendapatkan respon. Malah banyak orang yang cuwek terhadap penederitaan orang lain. Tradisi mengasihi sesama, nampaknya harus menjadi agenda utama dalam Ramadhan kali ini apalagi momentum sekarang ini bersamaan dengan musim krisis ekonomi. Dengan mengedepankan mengasihi mereka yang dhuafa, barangkali bisa menjadikan Ramadhan kali menjadi kontribusi yang signifikan dalam upaya untuk menormalkan kondisi ekonomi nasional yang lagi terpuruk.


Tidak ada komentar: